Seiring berkembangnya teknologi pola konsumen masyarakat memang berubah-ubah. Masyarakat yang menggunakan emosi dan mementingkan brand akan memilih belanja offline. Sedangkan masyarakat yang rasional memang lebih memilih belanja online.

Hal lain yang patut dicermati tentang pola konsumsi masyarakat adalah tren konsumsi produk lokal. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Tjahya Widayanti mengatakan, pemerintah saat ini terus mengampanyekan produk-produk lokal. Produk lokal bukan sekadar difokuskan untuk perdagangan offline, melainkan juga yang dipasarkan secara online. “Kemendag akan mengatur penyelenggara perdagangan elektronik menjual 80% produk lokal pada marketplace. Hal ini dilakukan untuk mencegah tersainginya produk impor pada e-commerce yang beroperasi di Indonesia,” tandasnya.

Ketua Indonesia Marketing Association (IMA) De Yong Adrian mengungkapkan, konsumen offline cenderung masih mementingkan brand karena mereka melakukan tatap langsung dengan barang yang diinginkan dan ada prestise di dalamnya. Konsumen yang tergiur diskon di mal cenderung lebih memiliki uang tunai yang memudahkan pembayaran. Sementara pembeli online lebih rasional dan lebih memiliki kesadaran akan kebutuhan yang benar-benar dibutuhkannya. Dalam dunia marketing komunikasi untuk memikat para kelompok pembeli online dibutuhkan pengalaman dari pengguna produk tersebut.

“Kelompok rasional membutuhkan bukti nyata, maka jika dalam perdagangan online, tidak cukup hanya brand ambassador. Sedangkan di online menginginkan benchmark, apa ada orang yang sudah menggunakan sudah dalam tahap puas atau tidak,” jelasnya. Adrian mengungkapkan, masyarakat yang berbelanja offline untuk mengisi waktu bahkan untuk menyenangkan hati sehingga masyarakat kelompok offline sering melihat diskon di pusat perbelanjaan dan berujung membeli hal yang sebetulnya tidak dibutuhkan.

Baca Juga :  Mandiri e-cash dan LINE Pay e-cash Gandeng 4 e-Commerce

Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Stefanus Ridwan mengungkapkan, mal saat ini harus bisa menyenangkan pengunjungnya. Pusat perbelanjaan jangan ada lagi yang melarang pengunjungnya untuk berfoto-foto. Justru seharusnya mal bisa mempercantik diri agar menjadi background yang bagus untuk pengunjung berfoto.

“Ke mal juga kita melihat sekarang ini kalau membeli makanan atau minuman sebelum dimakan pasti difoto dulu, mengantre sesuatu juga foto untuk diceritakan di media sosialnya. Nah, kita bisa melihat dari situ, pengunjung secara tidak langsung juga mempromosikan mal tersebut. Karena itu, mal harus memberikan pengalaman dan kesan yang berbeda kepada pengunjungnya,” jelasnya.

Menyoal kegemaran masyarakat yang berbelanja online, Stefanus menganggap lumrah dan masih banyak juga yang berbelanja mementingkan brand ternama. “Jangan lupa berfoto di outlet sebuah brand terkenal juga membawa kebanggaan,” tambahnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *